November 5, 2011

Pemuda Pemudi Kebas Politik, Lupa Budaya, dan Perusak Bangsa: Tak Akan Ada Sumpah Pemuda Lagi

1319761872782083133
Ada yang salah dengan negeri ini. Di mana-mana tercium bau muda-mudi aneh yang sesekali saling tertawa kemudian memencet tombol remote televisi, berpindah dari satu infotainment hura-hura ke program pembodohan otak berbungkus musik, lalu berpindah lagi dari sekedar memencet tombol remote televisi menjadi memencet tombol on terhadap kenyataan ‘cara hidup enak’.
Sebuah kritik pernah menulis begini: “Negaraku tak seperti dulu, sekarang semua dibatasi, semua diatur, semua ditata, semua diberi label, seakan-akan kita hidup dalam kebun binatang. Koalisi, fraksi, dan cluster menjadi jamur. Persatuan kesatuan menjadi konsumsi kelompok dan golongan. Pembelajaran telah berubah menjadi pendidikan. Tak ada lagi budaya tutur, tak ada lagi kumpul keluarga untuk sekedar saling bercerita, para Bunda sibuk berbisnis, para Ayah sibuk selingkuh, para anak sibuk berfoya-foya. Pemuda-pemudi penerus bangsa menjadi seragam, tak punya identitas. Intelektual muda penopang negeri menjadi parasitnya benalu, tak punya ide. Memalukan, memuakkan, sayangnya, sekarang sudah banyak muncul aturan-aturan aneh seperti ‘dilarang muntah melihat pemuda-pemudi praktis-seragam-populer-ahistoris-abudaya’. Mungkin saat pemuda-pemudi ini dewasa dan memegang kursi-kursi kekuasaan Indonesia, mereka akan mengubah sila-sila di dada garuda dengan atheisme, hedonisme, materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme. Apa negara ini memberlakukan doktrin nasakh dan mansukh? Semoga tuhan mereka tak punya musuh dan tak suka berperang.”
Perih memang jika apa yang dituliskan di atas adalah sebuah realitas yang benar-benar terjadi di sekeliling kita. Coba tengok ke kiri, dan lihat, pemuda-pemudi penerus bangsa menjadi seragam, tak punya identitas. Padahal merekalah nanti yang akan membentuk identitas bangsa, membangun budaya bangsa, menegakan negeri di tengah badai kemajuan zaman yang terlalu cepat datang. Namun, bagaimana mungkin mereka mampu, jika identitas diri saja tak pernah punya? Coba tengok ke kanan, dan lihat, intelektual muda penopang negeri menjadi parasitnya benalu, tak punya ide. Sungguh mengecewakan, identitas seragam plus ide-ide yang ternyata imitasinya palsu, benalunya parasit. Bagaimana negeri ini bisa berjalan, jika kreativitas manusianya saja tak ada bedanya dengan binatang?
Sekarang coba tengok ke atas, dan lihat apa yang diperbuat pemerintah kita menghadapi situasi sosial seperti ini, yang seakan-akan kita hidup dalam kebun binatang. Logistik pendukung logika diberantas habis oleh pemerintah dengan alasan culun: Pembangunan Indonesia. Bodoh! Anak TK pun dengan cepat sadar bahwa alasan yang diberikan pemerintah terlalu menyedihkan. Sejak 1967, tepatnya sejak Soeharto mendapat dukungan Barat untuk melakukan creeping coup d’etat (kudeta merangkak), bisa dikatakan tak ada lagi Pembangunan Indonesia, yang benar adalah Pembangunan (di) Indonesia. Miris bukan? Soeharto yang rakyat elu-elukan sebagai bapak pembangunan ternyata hanyalah sesosok “The Smilling General” dengan senyum palsu.
Negeri kita, sudah menjadi rahasia umum, bergerak menurut kebijakan-kebijakan yang dibuat IMF, terlebih dengan 50 poin Letter of Intent-nya yang telah ditandatangani saat era Soeharto. Contoh nyatanya adalah kebijakan impor beras, gula, kedeleai, dan lain-lain yang nyata-nyata merugikan petani Indonesia tapi sangat menguntungkan petani negara-negara donor. Sungguh lucu pemerintah kita ini, ketika IMF menekan Indonesia untuk membebaskan bea masuk beras dan gula sampai nol, Eropa, Amerika, dan Jepang memberlakukan bea masuk tinggi untuk produk-produk pertanian demi melindungi petani mereka. Adil kah ini? Anak TK pasti tahu ini tak ada adil-adilnya sama sekali, tapi sepertinya pemerintah kita belum lulus TK.
Rakyat mungkin dibutakan oleh silaunya gigi-gigi Soeharto, tapi kaum cendikiawan seperti mahasiswa sudah sepantasnya tidak tertipu. Apakah dengan masuknya peritel raksasa asing seperti Carrefour akan membangunIndonesia? Mungkin mahasiswa bodoh zaman sekarang yang selalu berpakaian warna-warni kasual modis dan terkesan pintar akan menjawab: iya. Mereka mungkin berkata: Kan Carrefour jadi ada di Indonesia, sebagian pekerjanya juga orang lokal, masuknya dollar lewat investasi seperti ini juga bakal memasok cadangan devisa negara. Padahal sesungguhnya kejadian seperti ini adalah tragedi nasional, dan orang-orang Indonesia hanya menjadi kuli saja di Carrefour. Apakah ini yang disebut Pembangunan Indonesia? Ataukah ini yang disebut Pembangunan (di) Indonesia.
Soeharto, Awal Pembodohan Bangsa
Mengapa kebobrokan bangsa seperti yang terungkap di atas itu terjadi? Pertanyaan yang mudah dijawab sekaligus sulit dibumikan. Apakah karena pemuda Indonesia sekarang tidak punya ide dan identitas? Mari kita runtut mengapa pemuda sekarang menjadi boneka berbaterai AA pembikin malu bangsa.
Diawali kericuhan, diakhiri pula dengan kericuhan. Adalah kalimat yang pantas jika kita memandang runtut kisah panjang yang dilalui Soeharto saat ia mengemudikan negeri ini dengan bersenjatakan Surat Ijin Mengemudi dan ketrampilan mengemudi yang baik, namun tanpa memiliki kemampuan membaca rambu-rambu lalu lintas sebagai seorang pemimpin.
Bayangkan, sejak 1965 hingga 1979, sekitar tiga juta orang meninggal karena dianggap berideologi PKI, belasan ribu dikirim ke Pulau Buru, dan jutaan lainnya menerima perlakuan diskriminatif adalah hasil legitimasi kekuasaan Soeharto. Pengiriman ribuan orang ke Pulau Buru, misalnya, sebenarnya demi mengamankan rezim yang baru lahir agar menang dalam pemilihan umum 1971 (yang seharusnya diadakan pada 1968, tapi dengan alasan belum siap, Soeharto menundarnya).
13197623411079227155
Bayangkan, 15 Januari 1974, atau yang lebih dikenal peristiwa Malari, ketika ribuan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang kala itu, Kakuei Tanaka, karena dianggap sebagai representasi dari modal asing. Mahasiswa menuntut tiga hal: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri). Aksi ini kemudian diikuti ratusan ribu massa dan kemudian berujung kericuhan besar. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan penjarahan serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko. Belasan orang tewas, ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, serta ratusan bangunan rusak. 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Jakarta mencekam. Saking rawannya, Soeharto mesti mengantar Tanaka menumpang helikopter ke Bandara Halim.
Pemerintah menangkap 750 orang, di antaranya adalah pemimpin mahasiswa dan cendekiawan dengan berdasar UU Anti Subversi, sebuah undang-undang aneh di dalam negara yang ‘katanya’ demokrasi.
Bayangkan, bagaimana Soeharto pada masa penyatuan NKRI menggunakan jalan militer untuk merekatkan tiap tiap wilayah. Di Aceh Utara, 4 Desember 1976, Hasan Tiro mengumumkan Gerakan Aceh Merdeka. Namun mulai ditanggapi serius oleh Soeharto pada 1989 dengan menggandakan dua kali lipat pengiriman Koppasus menjadi 12 ribu orang. Begitu pula dalam diam lembah-lembah Papua, yang mulai meradang ketika hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1 Desember 1969 yang berisi keputusan menyerahkan Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia ternyata berbeda dengan versi masyarakat Papua sendiri. Darah mulai bergejolak, hati mulai memanas, dan yang terjadi pastilah dendam disertai pembalasan.
Bayangkan, pada 27 Juli 1996, ketika kantor PDI diserang oleh 200 orang tak dikenal. Kabar yang terkuak adalah ini terjadi hanya karena ketakutan dini Soeharto terhadap putri mantan lawannya, Megawati Soekarnoputri yang terpilih sebagai ketua umum PDI. Tak jelas berapa orang yang tewas dalam peristiwa ini, tak ada laporan resmi, yang ada hanyalah simpang siur tentang penguburan massal di Jakarta Timur.
Bayangkan semua contoh kecil di atas. Miris membacanya, apa lagi mengalaminya. Memang benar bahwa Soeharto mampu membalikkan kondisi Indonesia dari pengimpor beras selama 138 tahun menjadi negara berlimpah pangan pada 1985. FAO (Food and Agriculture Organization) mengagungkan Soeharto sebagai contoh nyata keberhasilan dunia ketiga dalam usaha mencukupi kebutuhan diri sendiri. Tapi, meski beras melayah di mana-mana, Indonesia tak bisa dengan serta-merta mengekspornya. Sebab, jika beras membanjiri pasar, harga bisa anjlok.
Seperti yang ditulis dalam sebuah artikel kartun: Swasembada Pangan akhirnya jadi bumerang. Beras teronggok di lumbung-lumbung rumah petani karena tak ada yang mau membeli. Jika pun ada yang membeli, harganya jauh lebih rendah ketimbang zaman paceklik, sementara harga-harga kebutuhan lain malah naik. Akibatnya, banyak petani beralih ke pekerjaan lain: tukang batu, buka warung mie. Di beberapa daerah juga banyak orang miskin masih mengeluhkan kekurangan beras. Itu semua karena kebijakan keliru dan perhitungan yang ragu-ragu. Para birokrat hanya ingin tampil baik dan berhasil di hadapan Soeharto, meski kenyataan bertolak belakang. Soeharto di kalangan ajudannya dikenal sebagai orang yang hanya ingin mendengar berita yang baik-baik saja.
Jelas sudah dari mana mental pecundang di dalam darah manusia Indonesia sekarang berasal. Mental itu secara kognitif dan pelan merembet masuk ke alam unconscious kemudian bertumbuh lalu berakar kuat menjadi sebuah budaya yang dianggap benar. Mental yang menganggap diri hanyalah seorang budak tak punya niat dan selalu takut kalah seperti ini yang menyebabkan manusia Indonesia sekarang lebih tersenyum pada cara hidup serba praktis. Manusia Indonesia sekarang adalah sebuah masyarakat madani yang tiba-tiba muncul dan bangkit kembali pasca jatuhnya rezim Soeharto. Namun masyarakat madani ini adalah masyarakat madani yang sakit, yang tidak tahu batas-batas kebebasannya, yang menggunakan kebebasannya untuk keuntungan dirinya sendiri.
Cara Pertama: Berpikirlah
Satu hal subtantif yang membedakan manusia dengan hewan adalah: kreativitas.
Bisa dikatakan manusia Indonesia sekarang hampir kehabisan urat-urat kreativitas di otak dan hatinya. Memang benar jika kenyataan yang ada saat ini sedang gencar-gencarnya istilah anak muda kreatif, baik itu dari sisi seni maupun ideologi. Namun sebenarnya kelakuan itu hanyalah sebuah usaha mereka untuk memperdampingkan konsep senyatanya dan seharusnya sehingga menghasilkan suatu bumi yang harmonis (menurut mereka). Persinggungan konsep tersebut adalah implikasi miring dari tekanan yang diterima dari bumi yang sesungguhnya. Ketika bumi yang ada di angan mereka tak pernah menjadi riil dalam bumi yang sesungguhnya, maka tanpa disadari lahirlah di benak mereka sebuah konsep baru yang saya sebut sebagai: membumikan surga. Konsep membumikan surga inilah yang oleh orang-orang picik berpikiran sempit disebut sebagai kreativitas. Di sini letak kesalahaannya. Apa yang mereka sebut dan agung-agungkan sebagai kreativitas ternyata hanyalah sebuah praktik sosial biasa, dan praktik sosial hanyalah jelmaan eksistensi dari sebuah ideologi, yaitu ideologi membumikan surga. Oleh sebab itu, hal tersebut tak dapat dikatakan sebagai kreativitas. Karena kreativitas itu bukan timbul dari sebuah ideologi, namun adalah dari unsur God-Thinking (pemikiran Tuhan – meminjam istilah Merleau-Ponty).
Pada beberapa kasus, kreativitas diartikan sebagai the ability to use the imagination to develop new and original ideas or things, especially in artistic context. Dengan mengetahui apa itu kreativitas, maka perbaikan cara pikir manusia Indonesia sekarang tak lagi irrasional untuk terjadi.
Pancasila dari Sisi Akademis
Sebelum kita berpikir kreatif mengenai Pancasila, sangat diwajibkan untuk kita memahami Pancasila via akademis. Di sisi lain ruang pemikiran yang lebih formal (dan kaku), pemahaman Pancasila diharuskan melalui berbagai tahapan pemikiran. Guna mendapatkan pengetahuan Pancasila secara mendalam dan sistematis diperlukan penjabaran dengan menjawab empat pengetahuan ilmiah dalam Pancasila yaitu: pengetahuan deskriptif, pengetahuan normatif, pengetahuan esensi, dan pengetahuan kausal.
Pada pengetahuan deskriptif terhadap Pancasila sangat dibutuhkan dua hal utama. Yang pertama adalah keadaan latar belakang sejarah perumusan kristalisasi pandangan hidup bangsa yang dijadikan sebagai dasar filsafat negara kita yakni sejak sidang pertama BPUPKI 29 Mei 1945 hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian dilanjutkan dengan Inpres No.12 tanggal 13 April 1968. Yang kedua adalah sifat kesatuan serta bentuk susunan dari Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dan sebagai pandangan hidup bangsa, yang sifatnya merupakan satu kesatuan organis dan bentuk susunannya adalah hirarkis piramidal serta sila-silanya saling mengkualifikasi.
Berbeda dengan pengetahuan normatif, dalam konteks memahami Pancasila, yaitu dengan penjabaran Pancasila sebagai ciri khas bangs Indonesia yang sudah menjadi kebiasaan: (1) UUD ’45 sebagai rumusan pedoman pelaksanaan Pancasila dalam perundang-undangan secara formal yang bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) Penghayatan dan pengamalan pancasila yang dibedakan pengamalan obyektif yaitu yang dituang dalam UUD ’45 yang langsung dipancarkan dari Pancasila, dan pengamalan subyektif yaitu dirumuskan dalam Eka prasetia Pancakarsa.
Lain lagi dengan pengetahuan esensi tentang Pancasila, yang akan dipelajari adalah: (1) Isi arti Pancasila yang merupakan konsep dari masing-masing sila sebagai inti mutlaknya yang bersifat abstrak umum universal. Konsep dasarnya adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kekeluargaan dan keadilan. (2) Pokok isi ajaran tiap sila adalah merupakan jawaban dari pertanyaan: apa sebenarnya Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa?
Bagian terakhir adalah pengetahuan kausal tentang Pancasila: (1) Tinjauan historis Pancasila untuk menelaah asal mula Pancasila ditetapkan sebagai dasar Indonesia Merdeka dengan menerapkan teori kausalitas yaitu asal mula materi, tujuan, bentuk dan karya. (2) Bahan dasar untuk merumuskan Pancasila. Landasan ini dibuktikan juga dalam perkembangan masyarakat, sejak manusia ada sampai sekarang, sejak fase berburu hingga fase industri.
Berpikir Kreatif Apa itu Pancasila
Mengerti, mengenal, dan memahami apa itu Pancasila bagi benak manusia Indonesia sekarang khususnya mahasiswa sebenarnya adalah hal yang sama dalam menetukan mana yang terlebih dahulu, ayam atau telur. Rumit ruyam tak berujung. Namun sebenarnya mudah, karena untuk menjawabnya hanya perlu melihat sang objek dari sudut pandang lain yang berbeda. Seperti halnya menjawab pertanyaan apa itu gula? Gula itu adalah suatu yang manis. Tapi madu juga manis, lalu apa itu gula? Gula itu bentuknya kecil dan putih. Namun pasir di pantai juga kecil dan putih, lalu apa itu gula? Karena tak ada yang pasti di dunia ini selain ketidakpastian, maka jalan termudah untuk menjawab pertanyaan tadi adalah hanya dengan ketidakpastian itu sendiri. Mudahnya adalah, gula itu bukan garam. Selesai. Cukup dengan jawaban bersifat tidak pasti untuk menjawab pertanyaan definitif. Hal ini berlaku juga dalam memahami apa itu Pancasila.
Mengutip perkataan Confusius ketika ia ditanya: “Apakah yang mula-mula dikerjakan jika anda adalah pemimpin negara?” Jawabnya, “Mula-mula yang saya kerjakan adalah menerbitkan semua istilah yang ada di dalam negara agar tiap-tiap istilah tidak mempunyai tafsiran yang kacau. Dengan demikian seluruh warga dan aparat dapat melakukan semua tugas dan kewajibannya dengan tepat”. Pentingnya pengertian istilah dalam hal kenegaraan menjadi kebutuhan mendesak jika kita ingin mengetahui sebuah konsep yang menjadi dasar filsafat negara.
Jika dipikir lebih matang dan tenang, pemahaman tentang Pancasila di negara ini telah terkikis sesering upacara bendera tiap Senin diadakan. Berani bertaruh bahwa sebagian besar murid SD hingga SMA yang setiap Senin dicekoki dengan teriakan pembukaan UUD’45 tak pernah tahu yang dibacakan itu sebelumnya adalah mukadimah Piagam Jakarta. Bahkan lebih pasti mereka tak pernah sadar terdapat sembilan tokoh paling hebat dalam sejarah Indonesia terlibat diskusi satu meja merembuk hari-hari depan Indonesia (Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin). Atau mungkin yang lebih menakutkan, sebagian murid-murid tersebut tak pernah tahu apa itu Pancasila.
Perlu kita ingat satu sejarah penting ketika Soekarno sang pemimpin besar revolusi di dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 antara lain berbunyi: “Saudara-saudara! Dasar negara telah saya sebutkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Namanya bukan Panca Dharma, tetap saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Kelima sila tadi berurutan sebagai berikut: (a) Kebangsaan Indonesia, (b) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, (c) Mufakat atau domokrasi, (d) Kesejahteraan sosial, (e) Ke-Tuhanan.”
Pidato menggebu a la Soekarno itu seakan menegaskan paham marhaenisme yang telah ia godok jauh sebelum Pancasila. Kelima sila dari Pancasila tersebut seirama dengan marhaenisme Soekarno, dengan satu pembeda yaitu Ke-Tuhanan. Kebangsaan Indonesia berarti sama dengan nasionalisme dalam marhaenisme, juga sama dengan nasionalisme milik San Min Cu I milik Dr. Sun yat Sen. Internasionalisme atau peri-kemanusiaan berarti sama dengan internasionalisme dalam marhaenisme, juga sama dengan internasionalisme (kosmopolitanisme) milik A. Baars. Mufakat atau demokrasi berarti sama dengan demokrasi dalam marhaenisme, juga sama dengan demokrasi dalam San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen. Kesejahteraan sosial berarti sama dengan keadilan sosial dalam marhaenisme, juga berarti sama dengan sosialisme dalam San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen. Ke-Tuhanan yang diambil dari pendapat-pendapat para pemimpin Islam, yang berbicara lebih dahulu dari Soekarno, di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.
Lebih mendalam lagi, jika digali akan terteralah pemahaman inti dari sebuah Pancasila yang begitu luasnya dengan memeras hingga menjadi satu etintas termurni. Diawali dengan lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, menyatakan “Pembubaran kostituante dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1945”, Rumus Pancasila mengalami perubahan, baik redaksinya maupun pengertiannya secara esensial dan mendasar. Sebab setelah itu Soekarno merumuskan Pancasila dengan menggunakan Teori Perasan yaitu Pancasila itu diperasnya menjadi Trisila: (a) Sosionasionalisme, yang mencakup kebangsaan Indonesia dan peri kemanusiaan, (b) Sosio-demokrasi, yang mencakup demokrasi dan kesejahteraan sosial, dan (c) Ke-Tuhanan. Trisila ini diperas lagi menjadi Ekasila, yang tidak lain ialah Gotong Royong, dan konsep Gotong Royong tersebut diwujudkan oleh Soekarno dalam bentuk NASAKOM (Nasionalis, Agamis, dan Komunis).
Teori Perasan ini bukanlah masalah baru, tetapi itulah hakekat Pancasila yang Soekarno sendiri lahirkan pada tanggal 1 Juni 1945, dan hal ini dapat dilihat dari pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI, yang antara lain berbunyi, “Atau barang kali ada saudara-saudara yang tidak senang atas bilangan itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara tanya kepada saya apakah perasan tiga perasan itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia,weltanschaung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme; kebangsaan dan peri kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nationalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi pilitiek economiche democratie, yaitu pilitiek democratiedengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu saya namakan sociodemocratie.” Tersisa satu lagi yang tak perlu dijelaskan, yaitu ke-Tuhanan, yang menghormati satu sama lain.
Alangkah hebatnya negara kita, sebuah negara gotong royong, negara dengan pijakan sosialisme purba. Sayang, mahasiswa-mahasiswa beringas angkatan ’66 memberangus cita-cita luar biasa Soekarno, dan tanpa sadar angkatan ’66 menjadi garda depan kepentingan Blok Barat untuk menaikan Soeharto. Memalukan.
Sebuah kesalahan subtantif telah berakar pada urat nadi calon penerus bangsa kita. Manusia Indonesia sekarang hampir tak paham benar apa itu Pancasila, dan lebih parahnya mereka mungkin tak paham dasar-dasar bangsa ini. Pendidikan semu telah merecoki pemikiran mereka sejak SD, SMP, SMA, bahkan di bangku Perguruan Tinggi. Pengajaran tentang Pancasila tak disertai dengan pembekalan tentang kenikmatan mengetahui sejarah. Buruknya, pencekokan asal-asalan seperti itu mengakibatkan tak bekerjanya kemampuan kreativitas mereka sehingga hanya membuat mereka menjadi boneka robot seragam ahistoris yang mengucapkan apa yang disuap seakan tak punya daya cerna dan kemampuan berpikir kritis. Padahal, di kenyataannya, banyak sekali pundi-pundi sejarah Indonesia, terutama dalam hal dasar-dasar berbangsa, yang rapuh serta rawan kritik. Sebagai contoh, mengapa lambang negeri ini adalah burung Garuda yang dalam hitung-hitungan logis bukanlah berasal dari budaya asli kita? Mengapa bukan ular sawah, yang adalah simbol pelindung petani? Mengapa bukan ikan pesut simbol pelindung nelayan, yang diasumsikan sebagai kaum pedagang? Mengapa bukan babi hutan simbol pelindung para penyadap nira, yang dianalogikan sebagai kaum buruh? Atau mengapa bukan Banteng simbol pelindung pemburu, yang dianggap sebagai perwujudan tentara? Padahal simbol-simbol ini telah jelas tercatat dalam kitab kuno Tantu Pagelaran, budaya kita sendiri.
Contoh lain yang patut dipertanyakan adalah mengapa bendera kita berwarna merah dan putih? Apakah ini berasal dari gula lan klapa, merah lambang gula dan putih lambang buah nyiur yang telah dikupas? Atau jangan-jangan terjadi kesalahkaprahan selama bertahun-tahun? Jangan-jangan warna bendera kita yang paling tepat adalah warna merah tanah, karena yang benar adalah gulaklapa(tanpa lan –gulakelapa berwarna merah tanah), yang diartikan sebagai simbol dari ibu pertiwi, tanah air. Kenyataan juga mendukung bahwa selama berabad-abad bendera kerajaan-kerajaan di Indonesia hampir sebagian besar berwarna demikian.
Menyedihkan memang jika terbayang bahwa ternyata manusia Indonesia sekarang tak pernah memikirkan hal-hal penting seperti ini. Isi otak mereka telah penuh sesak oleh ajaran-ajaran ekonomi kapitalis yang memaksa mereka terus bersaing lalu melupakan ekonomi sosialis yang sesungguhnya lebih berguna bagi bangsa cantik seperti Indonesia. Mereka mungkin tak pernah terbisik setitik pun apa itu konstitusi, dan bagaimana di dalam konstitusi terdapat spirit bernama falsafah Pancasila dan tubuh bernama UUD ’45.
Kerupuk Menjadi Besi
Mungkin kebudayaan bangsa ini sudah menjadi kerupuk. Jika kebudayaan adalah sebuah sistem termodinamis, yaitu sistem yang melakukan transformasi energi, maka berhasil lah apa yang telah dirumuskan oleh Leslie White pada ‘hukum’ evolusi kebudayaan karangannya, yakni C = E x T (C: kultur, E: energi, T: teknologi), yang berarti evolusi kebudayaan merupakan perubahan sebuah sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi, dan dengan teknologi yang berkembang pesat seperti sekarang, seakan ingin mencipta post post post dan post modernisme, sehingga bertranformasilah kebudayaan Indonesia menjadi kebudayaan mental tempe saus kacang plus kerupuk.
Mari mulai melangkah dengan merubah jalan pikiran versi kerupuk itu menjadi besi baja kuat anti melempem. Siapa pun yang berpikiran waras di negeri ini dan mau merenungkan apa sebenarnya yang diwujudkan lewat sumpah para pemuda 1928, revolusi nasional 1945, upaya mahasiswa 1966, gerakan Malari 74, atau reformasi 1998, tentu akan mendukungnya.

No comments:

Post a Comment