Menghadap transisi demokrasi Indonesia yang alot dan berlarut-larut, banyak kalangan yang tergiur mengagendakan revolusi sebagai satu-satunya jalan keluar. Bagi mereka, masa depan yang baik mustahil dicapai lewat proses transisi evolusioner. Ia hanya mungkin diraih lewat perubahan menyeluruh secara sangat tepat, sebuah revolusi.
Mereka percaya bahwa gejala-gejala kearah revolusi sudah makin nampak, yang biasa ditunjuk adalah hancurnya kepercayaan rakyat terhadap proses politik yang biasa ditunjuk adalah hancurnya kepercayaan rakyat terhadap proses politik dan ekonomi formal yang sedang berjalan serta tidak tercapainya ambang batas toleransi rakyat menghadapi lambannya proses dan buruknya hasil reformasi. Mereka menyebut aksi-aksi kerusuhan dan main hakim sendiri sebagai bukti betapa kemarahan rakyat sudah meluap dan tak mungkin terbendung. Mereka pun percaya, revolusi sosial sudah diambang pintu.
Belajar dari Pengalaman sejarah revolusi di berbagai belahan dunia, serta membuka kembali studi-studi tentang itu, terlihat jelas bahwa tiap revolusi butuh infrastruktur. Revolusi bukanlah buah dari sekedar kemarahan yang tidak terkendali, ia tidak jatuh dari langit.
Secara umum revolusi butuh inftrastuktur berikut : Pembangkangan massa yang terorganisir, keretakan dan pembangkangan elite yang dikelola, adanya motiv untuk revolusi, terjadinya krisis negara berupa, lemahnya instrumen negara dalam menfungksikan regulasi. Tanpa atau setidaknya sebagian besar dari insfrastruktur ini revolusi berhenti dan menjadi pidato.
Selepas atoritarianisme orde lama dan orde baru yang bernafas panjang, kita justru menghadapi absennya infrastruktur itu. ada masyarakat yang marah tapi tak bersedia masyarakat revolusioner. Motif kemarahan tersedia bahkan melimpah ruah, tetapi tak pernah menjadi motif untuk revolusi. Ada gelombang kemarahan tetapi tak pernah bergerak maju menjadi perlawanan yang terorgansir. Ada ledakan sosial dimana-mana tetapi tak ada jaringan atau mata rantai yang menghubungkannya. Tak ada organisasi revolusi, tak ada kepemimpinan revolusioner di berbagai tingkat. Ada pembangkanan elite tetapi dalam skala kecil dengan motif kepentingan jangka pendek yang kental. Krisis negara terjadi di berbagai level tetapi tidak mampu menggoyahkan reglasi instrumen-instrumen sehiingga pemerintahan tetap bisa hidup bertahan. Maka, revolusi bukanlah jalan keluar tetapi nyayian pelipur lara.
Jalan yang menyajikan menurut saya adalah " Kesabatan revolusioner". Kesabaran revolusioner adalah gabungan dari semua kualitas berikut : Keberanian dan kemampuan menetapkan tujuan-tujuan agung/ tujuan-tujuan revolusioner yang hendak dicapai sejak mula, kerelaan mendata modal dan rencana langkah secara seksama, keikhlasan dan kemampuan menyusun dan menggunakan metode yang tepat untuk setiap medan, keadaan dan waktu yang berbeda dan rasa awas yang terus terjaga untuk membuat tak tersesat, mengalami disorientasi menjauh dari tujuan agung yang dicanangkan sejak mula.
Kesabaran revolusioner bukanlah sebuah persetubuhan dua kata yang saling membunuh."Kesabaran" adalah sebuah energi kinetik yang aktif, bukan energi potensial yang diam, tak bergerak, menunggu. Sementara " revolusioner" menunjukkan hasil akhir yang hendak dicapai, bukan waktu perubahan. Kesabaran revolusioner adalah perlengkapan untu mengubah mimpi menjadi cita-cita, cita-cita menjadi kerja nyata, dan kerja nyata menjadi hasil baik
Menggunakan jalan kesabaran revolusioner berarti menyakini bahwa proses demokratis tak saja mensyaratkan " Pemberdayaan struktural", yakni pembentukan kemampuan melawan dan membebaskan diri dari struktur yang mengungkung dengan jalan struktural. Ia pun mensyaratkan permberdayaan sosial dalam wujud mempertinggi kemampuan interaksi, membanguna organisasi dan jaringan, serta pada akhirnya mengakumulasikan modal sosial bagi demokrasi. Lebih dari itu, Ia pun mensyaratkan "Pembedayaan kognitif", dalam bentuk penyadara, pendidikan dan penanaman kesadaran orang-perorangan untuk tujuan bagi kepentingannya, menjaga haknya, menjaga hak orang lain dan orang banyak, tertumpu pada diri sendiri, dan melawan setiap kali haknya dicederai.
Untuk merebut masa depan politik Indonesia yang lebih baik, tantangan bagi jalan ini antara lain adalah ketidadaan arah, ketergesa-gesaan, lepasnya kontrol, kurangnya rasa awas dan kecendrungan untuk bergantung pada pemimpin, orang besar dan ratu adil
Saya percaya, peradaban adalah hasil akhir dari kesabaran penjang berbilang tahun, tetapi ia bukanlah kesabaran untuk membiarkan transisi yang berlarut-larut dan tak tentu arah melainkan kesabaran untuk melakukan evaluasi dan menata ulang perubahan yang sedang berjalan dan mendesaknya kearah yang semestinya.
Mereka percaya bahwa gejala-gejala kearah revolusi sudah makin nampak, yang biasa ditunjuk adalah hancurnya kepercayaan rakyat terhadap proses politik yang biasa ditunjuk adalah hancurnya kepercayaan rakyat terhadap proses politik dan ekonomi formal yang sedang berjalan serta tidak tercapainya ambang batas toleransi rakyat menghadapi lambannya proses dan buruknya hasil reformasi. Mereka menyebut aksi-aksi kerusuhan dan main hakim sendiri sebagai bukti betapa kemarahan rakyat sudah meluap dan tak mungkin terbendung. Mereka pun percaya, revolusi sosial sudah diambang pintu.
Belajar dari Pengalaman sejarah revolusi di berbagai belahan dunia, serta membuka kembali studi-studi tentang itu, terlihat jelas bahwa tiap revolusi butuh infrastruktur. Revolusi bukanlah buah dari sekedar kemarahan yang tidak terkendali, ia tidak jatuh dari langit.
Secara umum revolusi butuh inftrastuktur berikut : Pembangkangan massa yang terorganisir, keretakan dan pembangkangan elite yang dikelola, adanya motiv untuk revolusi, terjadinya krisis negara berupa, lemahnya instrumen negara dalam menfungksikan regulasi. Tanpa atau setidaknya sebagian besar dari insfrastruktur ini revolusi berhenti dan menjadi pidato.
Selepas atoritarianisme orde lama dan orde baru yang bernafas panjang, kita justru menghadapi absennya infrastruktur itu. ada masyarakat yang marah tapi tak bersedia masyarakat revolusioner. Motif kemarahan tersedia bahkan melimpah ruah, tetapi tak pernah menjadi motif untuk revolusi. Ada gelombang kemarahan tetapi tak pernah bergerak maju menjadi perlawanan yang terorgansir. Ada ledakan sosial dimana-mana tetapi tak ada jaringan atau mata rantai yang menghubungkannya. Tak ada organisasi revolusi, tak ada kepemimpinan revolusioner di berbagai tingkat. Ada pembangkanan elite tetapi dalam skala kecil dengan motif kepentingan jangka pendek yang kental. Krisis negara terjadi di berbagai level tetapi tidak mampu menggoyahkan reglasi instrumen-instrumen sehiingga pemerintahan tetap bisa hidup bertahan. Maka, revolusi bukanlah jalan keluar tetapi nyayian pelipur lara.
Jalan yang menyajikan menurut saya adalah " Kesabatan revolusioner". Kesabaran revolusioner adalah gabungan dari semua kualitas berikut : Keberanian dan kemampuan menetapkan tujuan-tujuan agung/ tujuan-tujuan revolusioner yang hendak dicapai sejak mula, kerelaan mendata modal dan rencana langkah secara seksama, keikhlasan dan kemampuan menyusun dan menggunakan metode yang tepat untuk setiap medan, keadaan dan waktu yang berbeda dan rasa awas yang terus terjaga untuk membuat tak tersesat, mengalami disorientasi menjauh dari tujuan agung yang dicanangkan sejak mula.
Kesabaran revolusioner bukanlah sebuah persetubuhan dua kata yang saling membunuh."Kesabaran" adalah sebuah energi kinetik yang aktif, bukan energi potensial yang diam, tak bergerak, menunggu. Sementara " revolusioner" menunjukkan hasil akhir yang hendak dicapai, bukan waktu perubahan. Kesabaran revolusioner adalah perlengkapan untu mengubah mimpi menjadi cita-cita, cita-cita menjadi kerja nyata, dan kerja nyata menjadi hasil baik
Menggunakan jalan kesabaran revolusioner berarti menyakini bahwa proses demokratis tak saja mensyaratkan " Pemberdayaan struktural", yakni pembentukan kemampuan melawan dan membebaskan diri dari struktur yang mengungkung dengan jalan struktural. Ia pun mensyaratkan permberdayaan sosial dalam wujud mempertinggi kemampuan interaksi, membanguna organisasi dan jaringan, serta pada akhirnya mengakumulasikan modal sosial bagi demokrasi. Lebih dari itu, Ia pun mensyaratkan "Pembedayaan kognitif", dalam bentuk penyadara, pendidikan dan penanaman kesadaran orang-perorangan untuk tujuan bagi kepentingannya, menjaga haknya, menjaga hak orang lain dan orang banyak, tertumpu pada diri sendiri, dan melawan setiap kali haknya dicederai.
Untuk merebut masa depan politik Indonesia yang lebih baik, tantangan bagi jalan ini antara lain adalah ketidadaan arah, ketergesa-gesaan, lepasnya kontrol, kurangnya rasa awas dan kecendrungan untuk bergantung pada pemimpin, orang besar dan ratu adil
Saya percaya, peradaban adalah hasil akhir dari kesabaran penjang berbilang tahun, tetapi ia bukanlah kesabaran untuk membiarkan transisi yang berlarut-larut dan tak tentu arah melainkan kesabaran untuk melakukan evaluasi dan menata ulang perubahan yang sedang berjalan dan mendesaknya kearah yang semestinya.
No comments:
Post a Comment